ldii.or.id. KH. Kasmudi Asshidqi dikenal sebagai ulama yang tekun, teliti, dan akurat dalam menjawab persoalan hukum yang menyangkut agama. Sejak kecil ia terbiasa membaca dan menghabiskan sebagian besar usianya di pondok pesantren.
Warga LDII di seluruh tanah air berduka atas wafatnya Ketua Dewan Penasehat DPP LDII, KH Kasmudi Asshidqi, pada Senin (11/9). Ia juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Minhajurrosyidin, Kebomas, Gresik, Jawa Timur dan Ketua Majelis Taujih Wa Al Irsyad.
“Kami kehilangan sosok guru yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengkaji Alquran dan Alhadist, dan memecahkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum agama. Kesederhanaan dan ketekunan beliau mempelajari agama, menjadi teladan bagi seluruh warga LDII,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat takziyah di rumah duka di Gresik.
KH Kasmudi lahir di Banyumas pada 4 Januari 1949. Orangtuanya, H. Muhammad Faqih dan Hj Mutmainah dan keluarga besarnya, memiliki tradisi Muhammadiyah yang kuat. Mereka berharap anak keempat dari 10 anaknya itu, kelak menjadi seorang ulama atau kyai.
“Alasan orangtua saya dengan menjadi kyai, agar hidup menjadi lebih bermanfaat,” ujar KH Kasmudi kepada Nuansa Persada. Orangtuanya bercerita, pada saat zaman penjajahan Belanda, umat Islam kesulitan belajar Alquran dan Alhadits. Orangtua KH Kasmudi juga mengatakan, suatu saat umat Islam dengan mudah mempelajari ayat dan hadits, untuk itu kehadiran seorang ulama sangat penting untuk menuntun umat Islam.
Keinginan orangtuanya agar KH Kasmudi menjadi ulama, diulang kembali saat ia sunat, “Setelah itu, saya dimasukkan pondok pesantren di Madrasah Wathoniah Islamiah (MWI), di Kebarongan, Banyumas,” ujarnya. Dari kecil hingga dewasa, kehidupan KH Kasmudi dihabiskan di MWI. Namun ia juga mengenyam pendidikan formal, hingga meraih sarjana ekonomi dan magister akuntansi.
Orangtuanya mendorong menjadi ulama, salah satunya karena melihat kebiasaan anaknya itu. Sejak kecil, KH Kasmudi lebih gemar membaca buku ketimbang bermain, “Saya membaca buku apa saja, dari buku-buku agama, hingga politik, dan ekonomi,” ujarnya. Ia dikenal memiliki hafalan yang kuat. Untuk menghafal pelajaran, ia biasanya menulis pada selembar kertas kecil. Kemudian kertas itu ia bawa ke manapun pergi.
“Dengan kertas itu saya menghafal pelajaran. Sambil jalan, sambil bersepeda. Saya pegang tangan kiri kertasnya, tangan kanan megang setir,” kenangnya. Menurutnya, ia tak selalu belajar sendiri, “Saya melihat teman yang rajib belajar sendiri. Sukanya menyendiri, tapi malah tidak naik kelas,” ujarnya. Ia mengambil pelajaran, belajar sendiri hanya membuat seseorang memahami dari kacamatanya saja, tetapi dengan belajar kelompok bisa saling mengkoreksi satu sama lain bila ada yang salah.
Pesan orangtuanya agar ia terus menegakkan Alquran dan Alhadist menguatkan tekadnya untuk terus mengajar dan berdakwah. Untuk persoalan umat yang berkaitan dengan agama, ia meletakkan pada Alquran dan Alhadits, ijtihad serta qiyas dari para ulama, “Saya dinasehati oleh guru saya, bila membenarkan atau menyalahkan sebuah perkara harus dari Alquran dan Alhadist, jangan menurut informasi-informasi yang ada dalam masyarakat umum,” pungkasnya.
KH Kasmudi juga dikenal sebagai entepreneur, untuk menjalankan usahanya ia selalu mengedepankan berdoa, kemudian bekerja. Ia beralasan, dengan berdoa akan mendapatkan ilham yang terbaik untuk melaksanakan segala sesuatu, “Saat berdoa, mintalah agar bisa infak dan sedekah yang banyak, dengan begitu rezekinya juga ikut banyak,” ujarnya.
Kyai yang serius namun suka bercanda itu telah berpulang. Ketelitian, ketekunan, dan ketajaman analisisnya dalam memecahkan persoalan umat, menjadi teladan bagi para ulama muda lainnya, warga LDII, dan para santri.