Jakarta (25/8). Indonesia di tengah terpaan berbagai ujian dan permasalahan, tetap mampu bertahan dan bangkit meneguhkan persatuan dan kesatuan. “Selama 60 tahun di Indonesia, tidak pernah saya diperlakukan dengan tidak baik oleh siapapun. Bahkan hubungan antar umat beragama sangat baik,” ujar Guru Besar STF Driyarkara Romo Franz Magnis Suseno.
Hal tersebut ia katakan pada “Webinar Nasional Wawasan Kebangsaan DPP LDII”, secara hybrid kerja sama LDII dengan Majalah Nuansa Persada, dihadiri pengurus DPW dan DPD serta pondok pesantren dan sekolah naungan LDII se-Indonesia, pada Rabu (24/8). Franz menyampaikan materi “Membangun Kerukunan Umat Beragama Berbasis Etika”.
Ia menceritakan pengalamannya melewati kejadian besar di Indonesia, yang bisa saja membuat negara ini terpecah belah, seperti reformasi tahun 1998.
Menurutnya, pada saat itu, banyak orang memprediksi bahwa Indonesia akan berakhir seperti Uni Soviet, akibat berbagai macam masalah dan konflik. Tapi ternyata takdir baik masih berpihak pada NKRI, Indonesia bisa keluar dari masa-masa kelam itu dengan tetap berpegang teguh pada Pancasila.
Franz mengamati, ada dua hal yang menjadi latar belakang mengapa Indonesia dapat sedemikian kokoh menghadapi peristiwa tersebut. “Pertama, tekad para tokoh kemerdekaan Indonesia, founding fathers dan founding mothers yang tertuang pada Pancasila,” ujarnya.
Pancasila menghasilkan sesuatu yang tidak dimiliki negara lain. Misalnya di Myanmar, Sri Lanka, mayoritas negara Afrika, dimana, pada negara-negara tersebut mengalami perpecahan yang akhirnya mengarah pada keruntuhan persatuan bangsanya sebab mereka menyerahkan identitas bangsa masyarakat mayoritas.
Di Indonesia, dengan mayoritas muslim sebesar 80 persen, nilai-nilai Islam tidak ditetapkan secara menyeluruh sebagai identitas bangsa. Namun dengan dasar toleransi dan kerukunan, bangsa Indonesia memiliki identitas yang dapat menaungi semua agama dan kepercayaan.
Poin kedua, kesediaan umat mayoritas di Indonesia untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD. Dengan kata lain, umat Islam bersedia tidak menuntut kedudukan dalam negara. Poin ini pulalah yang membuat Franz kagum dengan keluasan hati umat Islam untuk tidak menuntut negara menjadi negara Islam.
“Karena Indonesia, meski Islam agama dengan pengikut paling banyak, ada juga agama-agama lain yang musti dilindungi dan diberi ruang,” jelasnya.
Disamping dua poin yang menjadikan Indonesia kuat, Franz mengatakan ada dua tantangan yang juga mengiringi, yaitu intoleransi dan radikalisme. Seperti yang diketahui bersama, sikap intoleran merupakan sikap yang buruk. Sikap tersebut mendorong seseorang untuk menaruh curiga dan berpikiran negatif kepada orang lain.
“Sikap intoleran ini rawan terjadi antar umat beragama, biasanya ditandai dengan kecenderungan merasa lebih baik dari umat agama lain,” tuturnya.
Selanjutnya, ia mengingatkan dalam bermasyarakat, sudah tentu minoritas harus menghormati mayoritas, dan harus menanamkan rasa tahu diri dan tenggang rasa.
Untuk itu, menurut Franz, seluruh umat beragama di Indonesia harus mememiliki modal rohani yang dijalankan dalam tiga dimensi, yakni dimensi budaya, dimensi politik, dan dimensi agama.
Dalam dimensi budaya, seluruh bangsa Indonesia harus memahami bahwa Indonesia ini kaya akan keberagaman. Setiap orang di Indonesia harus terbiasa hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama tanpa harus memerangi apalagi dengan kekerasan.
“Hanya orang tidak beradab yang menggunakan kekerasan dalam masyarakat, dimana agama, suku, dan budaya apapun tidak ada yang mengajarkan menggunakan kekerasan,” tegasnya.
Yang kedua dalam dimensi politik. Franz memercayai modal rohani dalam dimensi politik bisa dilakukan dengan berlandaskan Pancasila. Pancasila merupakan produk dari para pejuang terdahulu yang berhasil memecahkan masalah identitas bangsa.
“Dengan memiliki identitas seperti Pancasila, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia,” ujarnya.
Pada akhirnya, karena Indonesia merupakan negara dengan berbagai pemeluk agama, orang Indonesia harus memiliki modal rohani dalam dimensi agama. Meskipun dimensi ini disebutkan paling terakhir, tapi dimensi agama merupakan yang paling penting.
“Dalam dimensi agama kita diajarkan untuk memperhatikan bahwa Tuhan tidak mengizinkan kita untuk menghakimi keagaamaan umat lain. Sebab Tuhan memiliki kacamata tersendiri dalam menilai umatnya,” jelasnya.
Dalam diskusi tersebut, Franz sangat menyetujui istilah moderasi beragama. Istilah ini bukan diartikan sebagai semacam penyesuaian agama dengan zaman, tapi lebih mengarah pada hakikat keagamaan. Keagamaan tidak menggantikan kebudayaaan dan kesosialan, termasuk ekologi dan politiknya.
Franz menyarankan semua tokoh agama dan guru agama, untuk menjunjung tinggi keterbukaan. Jangan membiarkan kegiatan berlatar agama, melanggar hukum atau melanggar undang-undang atas dasar perasaan agamis.
Sebagai penutup, Franz meyakini, melalui Pancasila, masalah apapun yang bangsa Indonesia hadapi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, Indonesia bisa bertahan. (AG/Lines)