Contoh Ceramah Idul Adha 2023

 



الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد

Jamaah kaum muslimin, semoga Allah selalu merahmati anda sekalian.

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita nikmat kesempatan untuk bisa berhari raya iedul-adha hari ini, setelah kemarin kita melaksanakan puasa hari Arafah, dan setelah ini nanti, in syaa Allah kita akan melaksanakan pemotongan hewan kurban.

Ciri khas dari iedul-Adha memang adalah pemotongan hewan kurban. Pelaksanaan pemotongan hewan kurban ini merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman:


كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, agar kalian bersyukur. (QS Al-Hajj: 36).  


Kita telah diberi banyak sekali kenikmatan oleh Allah SWT. Misalnya anggota tubuh yang kita miliki, dari mulai kepala, telinga, tangan, kaki, hidung, dan lain-lain. Semuanya adalah nikmat yang tidak mungkin terbeli, karena jika dihitung berapa harganya, pastilah tidak bisa dinominalkan. Pastilah nilainya bermiliar-miliar rupiah.

Demikian juga, udara yang dihirup, buah-buahan yang kita makan, kendaraan yang kita tumpangi, semuanya disediakan oleh Allah Yang Maha-Pengasih dan Maha-Penyayang, untuk manusia. Sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ... (سورة البقرة 29)

Dialah Allah yang telah menciptakan apa saja yang ada di bumi ini untuk kalian semua. (QS Al-Baqarah 29)

Semua, kalau dihitung dengan nominal angka, pasti tidak terhingga.

 

Dalam merayakan Idul Adha, kita selalu dibawa untuk merekonstruksi sejarah masa lalu, yaitu sejarah kehidupan figur-figur agung para kekasih Allah SWT, yaitu:

·         figur Nabiyullah Ibrahim 'alaihis-salam,

·         figur sang anak hebat yaitu Nabi Ismail,

·         dan figur sang ibu yang luar biasa, yaitu Ibu Hajar.

Peristiwa sejarah yang sangat menggetarkan hati manusia adalah penyembelihan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim 'alaihis-salam terhadap putra tercintanya yaitu Nabi Ismail, yang pada akhirnya oleh Allah diganti dengan seekor kambing.    

Selain sebagai bentuk kepatuhan pada perintah Allah SWT, ibadah kurban juga merupakan bentuk solidaritas kepada sesama anak cucu Adam, terutama kaum fakir dan miskin.


Nabi SAW sangat mengecam keras orang yang enggan berkurban, dengan sabda beliau:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا. (سنن ابن ماجه)

Barangsiapa yang memiliki keluasan rejeki, tapi dia tidak mau berkurban, maka tidak usahlah dia datang ke tempat kita shalat iedul-Adha. (HR Ibnu Majah 3123)


Karena dalam Islam ibadah kurban bukan hanya ritual persembahan untuk meningkatkan spiritualitas seseorang, juga bukan tontonan kesalihan orang kaya semata. Namun, lebih dari itu, kurban adalah dalam rangka memperkuat kepekaan sosial, menyantuni fakir miskin dan membuat gembira kaum dhuafak.


Kurban mencerminkan pesan Islam bahwa seseorang hanya dapat taqarrub kepada Allah, bila ia sebelumnya telah dekat dengan saudara-saudaranya yang kekurangan.   

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat kita petik dalam perjalanan dan kehidupan agung Nabi Ibrahim 'alaihis-salam dan keluarganya.


Bagi Ibrahim, tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, bukan pangkat, bukan jabatan dan sebagainya, tetapi tujuan hidup manusia adalah Allah SWT. Karena seperti dimaklumi sebagai sunnatullah, manusia selalu bergerak sesuai naluri bawaan, ingin memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya.


Untuk memfasilitasi hidupnya, maka manusia menciptakanlah berbagai sarana kehidupan mulai dari sandal, sepatu, jalan raya, kendaraan, hingga peralatan yang lain, agar manusia bisa hidup dengan nyaman.


Manusia membangun jembatan, menggunakan jalur lautan dan juga udara. Dalam perjalanan dan pengembaraan manusia secara fisik untuk mengetahui luasnya dunia, sampai suatu saat mereka mendapatkan hambatan secara teknis. Kemacetan tetap terjadi di daratan, pada sarana lautan maupun udara, oleh karena itu, manusia menciptakan internet dan teknologi fotografi serta televisi. Nah, di masa sekarang, manusia hanya dengan duduk di depan layar komputer atau televisi, mereka sudah dapat menjangkau dunia yang lebih luas dan warna-warni, meskipun disajikan dalam bentuk potongan gambar, rekaman video atau foto. Mereka menyebutnya sebagai sebuah keniscayaan di era visual age.  

Islam memberi petunjuk, agar segala kegiatan kita tidak hanya sekedar mobilitas fisik, tapi bagaimana agar segala kegiatan kita itu bernilai ibadah, sehingga aktivitas manusia itu memiliki tujuan yang lebih bermakna. Bagaimana agar ketika kita tersenyum, tidak hanya berwajah ceria, tapi bisa bernilai ibadah. Bagaimana agar ketika kita mencari nafkah, tidak hanya sekedar capek dan berkeringat, tapi bagaimana agar bisa bernilai ibadah dan bernilai shadaqah.

 

Ketika Allah bertanya kepada manusia lewat firman-Nya dalam surah At-Takwir ayat 26:

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ

“Ke mana kalian akan pergi?” Hendak dibawa ke mana harta kita? Hendak dibawa ke mana mobil kita? Hendak dibawa ke mana jabatan kita? Hendak dibawa ke mana pangkat kita? Hendak dibawa ke mana ilmu kita? Hendak dibawa ke mana tubuh kita?

Ketika pertanyaan itu ditujukan kepada Nabi Ibrahim, beliau menjawab:   

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (سورة الصافات 99)

Ibrahim menjawab: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku yang dia akan memberi petunjuk padaku”.

Bagi Ibrahim, tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, bukan pangkat, bukan jabatan dan sebagainya, tetapi tujuan hidup kita adalah Allah subhanahu wata'ala.
Sementara jaman sekarang dengan gencarnya kampanye kemewahan dalam tontonan-tontonan di media masa maupun media sosial, maka sekarang ini seakan-akan tujuan hidup itu hanya berkisar pada “ingin cepat kaya, kaya secara instant, dan takut miskin”. Sehingga yang muncul hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.

Padahal tujuan hidup kita harus tertuju pada Allah Tuhan seluruh alam. Sebagaimana pernyataan atau statement kita yang biasa kita baca dalam shalat:

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Tuhan seluruh alam.   

Mari kita tata kembali niat dan tujuan perjalanan hidup kita, bahwa dunia ini bagi kita hanyalah ibarat tempat pengembaraan sementara yang kelak kita akan kembali ke kampung halaman yang sebenarnya yaitu kehidupan akhirat. Maka kita pun berdoa:

وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia ini bagi kami sebagai puncak cita-cita dan terminal terakhir ilmu pengetahuan kami.

Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan kita harus menembus jarak tanpa batas sampai bisa mendapat kebahagiaan di akhirat kelak.

 

Jamaah kaum muslimin, semoga Allah selalu merahmati anda sekalian.

Salah satu doa Nabi Ibrahim adalah:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (سورة الصفات 100)

Ya Allah berilah kami anak-anak yang salih.

Nabi Ibrahim meminta anak yang salih. Bukan anak yang pintar, bukan anak yang kaya raya, bukan anak yang punya jabatan luar biasa, bukan anak yang punya pangkat setinggi langit.

Karena, apalah artinya anak yang kaya, anak berpangkat dan mempunyai jabatan yang tinggi, anak yang pintar, anak yang ngetop, jika mereka tidak salih. Karena itu, kata kuncinya adalah anak yang salih.

Untuk mewujudkan anak yang salih, tentu bukan hal mudah. Beberapa hal yang harus kita kondisikan.

Pertama: keluarga adalah hal utama dan pertama dalam mewujudkan anak yang salih. Anak yang salih dan salihah, pasti tidak luput dari pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Keduanya bersungguh-sungguh membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi SAW dalam hal mendidik anak-anak:

أدِّبُوا أوْلادَكُمْ على ثلاثِ خِصالٍ: حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ أهْلِ بَيْتِهِ وقِراءَةِ القُرآنِ

Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: Mencintai nabimu, mencintai penghuni rumahnya dan membaca Al-Qur’an. (HR Ad-Dailami).     


Kedua, memberi keteladanan, uswatun hasanah, kepada anak-anak kita. Bagaimana pun, keteladanan merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak. Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, itulah yang akan mempengaruhi anak-anak kita.

Keluarga yang mempraktekkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh baik bagi anak-anaknya. Sebaliknya, keluarga yang membiasakan kedustaan dan kebakhilan juga akan ditiru oleh anak-anaknya.

Tentang kedermawanan ada riwayat bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ السَّخِيَّ قَرِيبٌ مِنَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ النَّاسِ قَرِيبٌ مِنَ الْجَنَّةِ بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya orang yang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada manusia yang lain, dekat pada sorga, dan jauh dari neraka.

Sedangkan orang yang pelit atau kikir, bagaimana?

وَإِنَّ الْبَخِيلَ بَعِيدٌ مِنَ الله بَعِيدٌ مِنَ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya orang yang pelit itu, jauh dari Allah, jauh dari manusia lain (karena orang-orang gak senang kepada orang yang pelit), jauh dari sorga, (jadi dekatnya ke mana?) dekat ke neraka. Sehingga:

وَجَاهِلٌ سَخِيٌّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ عَالِمٍ بَخِيْلٍ

Orang yang bodoh tapi dermawan, itu lebih disenangi oleh Allah ketimbang orang yang alim, banyak ilmunya, tapi bakhil.

 

Ketiga, kumpulkan anak-anak kita dengan teman-temannya yang baik atau teman yang sudah terbiasa ber-akhlaqul-karimah.

Lebih baik sekolah yang ber-akhalqul-karimah meskipun 'kurang bermutu' daripada 'sekolah favorit' tapi tidak ber-akhlaqul-karimah. Untuk memilih lingkungan pendidikan, carilah lingkungan yang baik-baik. Jangan hanya karena gengsi kemudian terjerumus pada lingkungan atau komunitas yang kurang baik sehingga menyebabkan kita masuk dalam kebiasaan-kebiasaan jeleknya.

Sebagai contoh anak yang shalih, bisa kita lihat bagaimana reaksi Nabi Ismail sebagai produk pembinaan dari ayahnya yang shalih yaitu Nabi Ibrahim, dan bundanya yang shalihah yaitu Ibu Hajar ketika beliau dimintai pendapat tentang adanya perintah Allah agar dirinya dikurbankan.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (سورة الصافات 102)

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ismail langsung menjawab: "Wahai ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepada ayah; in syaa Allah ayah akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar dan tabah".

Jamaah kaum muslimin, semoga Allah selalu merahmati anda sekalian. Mari kita doakan agar anak-anak kita bisa menjadi anak-anak yang shalih shalihah.

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوْلَادَنَا أَوْلَادًا صَالِحِيْنَ حَافِظِيْنَ لِلْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ فُقَهَاءَ فِى الدِّيْنِ مُبَارَكًا حَيَاتُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang shalih-shalihah, yang hapal pada Al-Qur’an dan Sunnah, yang faham dalam urusan agamanya dan barokah hidupnya di dunia maupun di akhirat.


اللَّهم حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ، وَزَيِّـنـْهُ فِي قُلُوبِنَا، وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنَ.


Ya Allah, cintakanlah kami pada keimanan, dan hiaskanlah keimanan itu ke dalam hati kami. Dan bencikanlah kami pada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, serta jadikanlah kami tetap dalam jalan kebenaran.

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمِيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وصلَّى اللهُ على محمدٍ وعلى آل محمدٍ.

والْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama