Demokrasi tidak hanya berkaitan dengan urusan politik, tetapi juga ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah salah satu pilar penting dalam sistem ekonomi Pancasila, yang merupakan sistem ekonomi yang sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Namun, apakah demokrasi ekonomi Pancasila sudah terwujud secara optimal di Indonesia? Bagaimana peran masyarakat dalam mewujudkan demokrasi ekonomi Pancasila?
Pada tanggal 23 Agustus 2023, Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) mengadakan webinar kebangsaan dengan tema “Revitalisasi Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024”. Webinar ini bertujuan untuk menggali potensi dan tantangan demokrasi Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi.
Salah satu pembicara dalam webinar tersebut adalah Ardito Bhinadi, Ketua DPP LDII Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat, yang juga pakar ekonomi syariah. Dalam paparannya, Ardito menyoroti perbedaan antara asumsi-asumsi dasar dalam teori ekonomi klasik dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia.
Menurut Ardito, Indonesia adalah salah satu negara yang memasukkan sistem perekonomian nasional ke dalam konstitusi, selain Uni Soviet dan Rusia. “Untuk itu, demokrasi ekonomi tidak lepas dari konstitusi ekonomi,” kata Ardito.
Ardito menjelaskan bahwa konstitusi ekonomi Indonesia mengandung prinsip-prinsip demokrasi ekonomi, seperti kebersamaan, efisiensi berkeadilan, kemandirian, berwawasan lingkungan, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Namun, Ardito mengkritik bahwa teori ekonomi klasik yang menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi di Indonesia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi Pancasila. Ardito mencontohkan beberapa asumsi dasar dalam teori ekonomi klasik yang bertentangan dengan fakta sosial budaya bangsa Indonesia.
Pertama, asumsi bahwa konsumen sebagai pelaku ekonomi akan membelanjakan semua anggaran yang dimiliki dalam membeli konsumsi untuk memuaskannya. Asumsi ini mengabaikan bahwa konsumen juga memiliki motivasi lain selain memuaskan dirinya sendiri, seperti berbagi dengan orang lain, bersedekah, atau menabung untuk masa depan.
Kedua, asumsi bahwa produsen sebagai pelaku ekonomi akan memaksimumkan keuntungan. Asumsi ini mengesampingkan bahwa produsen juga memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta nilai-nilai etika dan moral dalam berbisnis.
Ketiga, asumsi bahwa tabungan adalah sisa pendapatan yang tidak dikonsumsi. Asumsi ini menyebabkan masyarakat tidak memiliki budaya menabung dan berinvestasi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ardito menyarankan agar kebijakan ekonomi di Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi Pancasila yang ada di dalam konstitusi. “Selain itu, moral para pelaku ekonomi juga harus sesuai dengan moral ekonomi Pancasila,” ujar Ardito.
Ardito juga mengajak masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam mewujudkan demokrasi ekonomi Pancasila. Di era digital saat ini, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas hidup, penghidupan, dan kehidupan bermasyarakat. “Maka dari itu, kita perlu menerapkan nilai serta moral Pancasila, dan prinsip-prinsip dasar demokrasi ekonomi ke dalam perilaku ekonomi untuk pengambilan keputusan,” tutup Ardito.
LDII sendiri memiliki unit ‘Usaha Bersama (UB)’, dimana dalam unit ini menerapkan dua prinsip. Pertama, adanya penghimpunan modal. “Kedua, pengambilan keputusan berdasarkan hasil musyawarah, yang bertujuan untuk kemakmuran masyarakat. Hal ini tentunya menerapkan prinsip demokrasi ekonomi, diantaranya prinsip kekeluargaan, kebersamaan,” ujar Ardito
Ia berharap, para pemangku kebijakan, serta para pelaku ekonomi ini dapat terus menerapkan dan memperkuat konstitusi ekonomi yang sudah jelas prinsip demokrasi ekonominya,” tutup Ardhito.