JAKARTA, Kedaulatan pangan dan gizi merupakan salah satu isu strategis yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, terutama di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak pada krisis pangan global. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan sinergi dari berbagai pihak, termasuk lembaga legislatif dan organisasi kemasyarakatan.
Salah satu contoh sinergi tersebut adalah antara Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan lingkungan hidup dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kedua lembaga ini sepakat bahwa kedaulatan pangan dan gizi tidak bisa ditawar dan harus menjadi prioritas dalam pembangunan nasional.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, dalam webinar ketahanan pangan yang dihelat oleh DPP LDII pada Sabtu (23/9), di kantor DPP LDII, Jakarta. Webinar tersebut bertajuk “Kedaulatan Pangan dan Gizi Guna Mewujudkan Generasi Penerus Bebas Stunting Menuju Indonesia Emas 2045”.
Sudin mengatakan bahwa ketahanan pangan dapat dimulai dari lingkup yang kecil, yaitu rumah tangga. Ia mencontohkan beberapa inisiatif yang telah dilakukan oleh LDII, seperti budidaya tanaman pangan di pekarangan rumah tangga, ternak lele dan kambing di pondok pesantren Nurul Huda Lampung, serta pembuatan pupuk organik.
“Nanti yang akan datang, kita harus mengurangi penggunaan pupuk kimia. Karena kita tahu, penggunaan pupuk kimia, jangka panjangnya bagaimana. Tentunya ini menjadi inspirasi, bagi pengurus DPW LDII yang lainnya,” ujar Sudin.
Ia juga menekankan pentingnya pangan dan gizi untuk mengatasi stunting, yaitu kondisi di mana anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan akibat kurangnya asupan gizi. Stunting dapat berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
“Pangan dan gizi, untuk mengatasi stunting adalah hal yang paling penting. Karena merupakan hak hidup dasar yang harus dicukupi oleh negara untuk rakyatnya,” tegas Sudin.
Untuk mendukung program ketahanan pangan dan gizi, Sudin mengatakan bahwa ia telah mendorong perubahan peraturan Menteri Pertanian, yang sebelumnya hanya memberikan akses bantuan program pertanian kepada kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Ia ingin agar peraturan tersebut direvisi agar dapat memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang pertanian, seperti pondok pesantren dan lembaga pemasyarakatan.
“Karena saya melihat, misalnya pondok pesantren mau bercocok tanam, (jika mengacu pada peraturan sebelumnya) tidak ada fasilitasnya. Juga pada saudara kita yang nasibnya kurang baik di lembaga pemasyarakatan, keluar dari sana, punya ilmu yang mumpuni,” jelas Sudin.
Sudin juga menyadari tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian Indonesia saat ini, salah satunya adalah minimnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Ia mengatakan bahwa banyak pemuda lebih memilih menjadi tukang ojek daripada bekerja di sawah.
“Kala saya tanya, mereka menjawab lebih enak menjadi tukang ojek. Satu hari bisa mendapatkan Rp 100 ribuan, daripada di sawah, belepotan lumpur dan kotor, uangnya belum tentu seberapa,” ungkap Sudin.
Untuk itu, ia mengajak para pemuda untuk lebih mencintai tanah air dan berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional. Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini sedang memasuki era bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari usia non-produktif.
“Jika bonus demografi dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah, kondisi tersebut dapat menjadi modal penting untuk pembangunan menuju 100 tahun Indonesia merdeka, pada tahun 2045,” harap Sudin.
Sementara itu, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengatakan bahwa ketahanan pangan dan lingkungan hidup adalah bagian dari program prioritas LDII. Ia mengapresiasi kerja sama yang terjalin antara LDII dan Komisi IV DPR RI dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan gizi.
“Bahkan Presiden Jokowi, berkali-kali mengatakan, ketahanan pangan ini perlu. Apalagi di musim sekarang, dengan badai el nino. Menjadikan curah hujan turun di Indonesia dan terjadi kekeringan,” kata Chriswanto.
Ia juga menyampaikan bahwa pangan adalah komoditas strategis yang terkait dengan kedaulatan bangsa. Ia mencontohkan beberapa negara yang biasa mengekspor berasnya ke Indonesia, saat ini menutup kran ekspor pangan karena mereka sendiri juga membutuhkan.
“Pangan adalah kebutuhan yang tidak mungkin dihindari,” tegas Chriswanto.
Ia juga menyoroti isu perebutan sumber daya alam di dunia, seperti energi, air, pangan, dan logam. Ia mengatakan bahwa logam seperti nikel merupakan bahan untuk teknologi tinggi yang digunakan di dunia.
“Kita harus bisa memanfaatkan sumber daya alam kita dengan baik dan bijak. Kita harus bisa menjaga lingkungan hidup kita agar tetap lestari,” pesan Chriswanto.
Webinar ketahanan pangan tersebut diikuti oleh peserta yang berasal dari unsur pengurus LDII se-Indonesia, sejumlah 304 studi mini.