FGD LDII 2023: Toleransi dalam Bingkai Negara dan Masyarakat Harus Diatur Negara, Bukan Diserahkan kepada Ormas

Toleransi dalam Bingkai Negara dan Masyarakat Harus Diatur Negara, Bukan Diserahkan kepada Ormas


Jakarta (23/12). Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Keberagaman ini merupakan modal sosial yang dapat menjadi kekuatan bagi pembangunan bangsa. Namun, keberagaman juga dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, toleransi antar sesama warga negara sangat penting untuk dijaga dan ditingkatkan.

Salah satu upaya untuk memperkuat toleransi adalah dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh DPP LDII pada Sabtu (23/12), di kantor DPP LDII, Jakarta. FGD ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, aktivis, tokoh agama, dan media. FGD ini bertujuan untuk menggali pemahaman dan pengalaman tentang toleransi di Indonesia, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat.

Toleransi sebagai Warisan Sejarah dan Ideologi

Dalam FGD ini, Ketua DPP LDII Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri (HAL) Singgih Tri Sulistiyono, menjelaskan bahwa toleransi di Indonesia bukanlah hal yang baru, melainkan warisan sejarah dan ideologi. Ia mengatakan bahwa bangsa Indonesia lahir dari konsensus keberagaman yang diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.

“Aspirasi yang tergambar dalam ideologi nasional seperti Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945 mencerminkan visi bersama masyarakat Indonesia untuk membentuk bangsa yang bebas dari penindasan dan membangun masyarakat yang adil dan makmur,” ujar Singgih.

Singgih menambahkan bahwa toleransi juga merupakan nilai yang hidup dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan beberapa praktik toleransi yang ada di berbagai daerah, seperti saling menghormati hari besar agama, saling membantu dalam kegiatan sosial, dan saling menghargai perbedaan pendapat.

Toleransi sebagai Tantangan dan Solusi

Meskipun toleransi telah menjadi bagian dari identitas bangsa, Indonesia modern menghadapi berbagai tantangan yang mengancam toleransi. Salah satu tantangan tersebut adalah meningkatnya konflik SARA yang sering kali dipicu oleh isu-isu politik, ekonomi, dan sosial. Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Bambang Purwanto, mengungkapkan data yang menunjukkan bahwa toleransi di Indonesia memiliki angka terendah di antara indikator Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yaitu 68,72 persen. Bahkan, konflik agama merupakan salah satu konflik yang paling sulit dicari solusinya.

“FGD ini menekankan peran konstitusional negara sebagai pelindung, terutama dalam era ‘Society 5.0’, di mana negara diharapkan menjadi institusi yang menciptakan kesejahteraan,” kata Singgih.

Singgih juga menjelaskan bahwa tantangan lain terhadap toleransi adalah berkurangnya kesadaran mengenai perbedaan, “Kami menyoroti bagaimana isu-isu terkait SARA dieksploitasi untuk kepentingan Pemilu, tanpa memperhitungkan potensi perpecahan dan konflik,” tuturnya.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, FGD ini memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa negara hadir sebagai penjamin hak-hak warga negara, termasuk hak beragama dan berkeyakinan. Pemerintah juga harus menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku-pelaku intoleransi dan diskriminasi. Kedua, pemerintah harus memfasilitasi kerja sama antara elemen-elemen sosial, termasuk kelompok keagamaan, “Tujuannya untuk mengatasi isu bersama sebagai komunitas bangsa, seperti kemiskinan, pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi,” tambahnya.

Ketiga, masyarakat harus meningkatkan literasi dan aksi toleransi di antara anggotanya. Masyarakat harus mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan, serta menghindari penilaian saling lembaga yang dapat berujung pada konflik horizontal. Keempat, masyarakat harus menjaga dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan yang mendukung toleransi, seperti gotong royong, saling asih, dan saling asah.

Toleransi sebagai Kebutuhan dan Harapan

FGD ini menunjukkan bahwa toleransi adalah kebutuhan dan harapan bagi bangsa Indonesia. Toleransi bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, melainkan sesuatu yang harus dipelihara dan diperjuangkan. Toleransi adalah jalan menuju persatuan dan kemajuan bangsa. Toleransi adalah cara kita untuk menghargai diri sendiri dan orang lain.

LDII berharap bahwa FGD ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan toleransi di Indonesia. LDII juga berkomitmen untuk terus berpartisipasi dalam upaya-upaya toleransi, baik di tingkat nasional maupun internasional. LDII mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga dan meningkatkan toleransi sebagai warisan, tantangan, solusi, kebutuhan, dan harapan bangsa Indonesia. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama