KEBUMEN. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengajak seluruh umat beragama di Indonesia untuk menjaga soliditas kebangsaan. Hal ini disampaikannya saat mengadakan sosialisasi “Empat Pilar Kebangsaan” di hadapan warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kebumen, Jawa Tengah, pada Jumat (19/1/2024).
Empat Pilar Kebangsaan adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat.
Bamsoet didampingi oleh Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) LDII Jawa Tengah Singgih Tri Sulistiyono dan jajaran Dewan Pengurus Daerah (DPD) LDII Kabupaten Kebumen. Acara ini juga dihadiri oleh Wakil Bupati Kebumen Ristawati Purwaningsih, Ketua Dewan Penasehat LDII Kebumen Agus Septadi, Ketua LDII Kebumen Gunardi dan Sekretaris LDII Kebumen Hadi Purwanto.
Indonesia, Bangsa yang Majemuk dan Heterogen
Dalam sambutannya, Bamsoet menekankan pentingnya menjaga soliditas kebangsaan mengingat Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk dan heterogen. Ia mengatakan, tanpa wawasan kebangsaan yang memadai, bangsa Indonesia tidak akan memiliki soliditas kebangsaan, sehingga akan mudah tercerai-berai.
“Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk dan heterogen. Tanpa wawasan kebangsaan yang memadai, bangsa Indonesia tidak akan memiliki soliditas kebangsaan, sehingga akan mudah tercerai-berai,” ungkap Bamsoet.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa, 652 bahasa daerah, dan enam agama resmi yang diakui oleh negara. Selain itu, Indonesia juga memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dan tradisi yang kaya dan beragam.
Bamsoet mengatakan, setiap perbedaan latar belakang agama, suku, dan budaya bukanlah penghalang bagi rakyat Indonesia untuk bersatu. Perbedaan itu juga bukan penghalang bagi untuk hidup rukun dalam keharmonisan.
“Perbedaan juga bukan penghalang untuk hidup saling menghormati, saling membantu, saling tolong menolong dan membangun solidaritas sosial yang kokoh,” ujar Bamsoet.
Pemilu, Tantangan dan Peluang untuk Menjaga Soliditas Kebangsaan
Bamsoet juga mengungkapkan bahwa saat ini, penyelenggaraan pemilu serentak menjadi salah satu tantangan dalam merawat dan menjaga soliditas kebangsaan. Pemilu serentak adalah pemilihan umum yang dilakukan secara bersamaan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah.
Pemilu serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2019, dan akan kembali dilaksanakan pada tahun 2024. Pemilu serentak diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih, efisiensi anggaran, dan keseimbangan kekuasaan.
Namun, Bamsoet juga menyadari bahwa pemilu serentak memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam hal anggaran, logistik, dan potensi konflik. Ia mengatakan, besarnya anggaran yang mencapai Rp 71,3 triliun diharapkan berbanding lurus dengan penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan berkualitas.
Di sisi lain, kata Bamsoet, kedewasaan politik masyarakat juga diharapkan semakin matang. Dengan begitu, siklus sejarah penyelenggaraan pemilu yang selalu menyisakan residu persoalan, dapat diminimalisir.
“Kita tidak ingin Pemilu menyebabkan polarisasi rakyat pada kutub-kutub yang berseberangan yang bermuara pada lahirnya konflik horizontal. Dalam konsepsi ini, diperlukan sikap kebijaksanaan dari segenap pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun komitmen mewujudkan Pemilu yang damai dan menggembirakan,” jelas Bamsoet.
Bamsoet pun menambahkan, beberapa kali penyelenggaraan Pemilu hampir selalu menyisakan residu persoalan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sikap kedewasaan dan kebijaksanaan dari seluruh komponen agar tidak memperkeruh kondisi dan merugikan kehidupan rakyat.
“Seluruh umat beragama juga memiliki tanggung jawab kolektif yang sama untuk menyukseskan penyelenggaraan pesta demokrasi agar berjalan secara tertib, lancar, jujur, adil dan berkualitas,” imbuhnya.
Ia meminta umat beragama menjadi mitra strategis pemerintah dalam menjaga agar aktualisasi kehidupan berpolitik tidak bersinggungan dengan isu-isu sensitif yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, dan memicu konflik horizontal.