Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Stunting dapat berdampak buruk bagi perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak, serta mengurangi produktivitas dan kesejahteraan di masa depan. Stunting juga menjadi salah satu indikator kemiskinan dan ketimpangan sosial di suatu negara.
Menurut data Riskesdas 2022, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen, yang berarti sekitar 7,5 juta anak balita mengalami stunting. Angka ini masih di atas ambang batas WHO yaitu 20 persen, dan jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu 14 persen pada 2025. Oleh karena itu, penurunan stunting menjadi prioritas nasional dan tantangan bersama bagi semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan calon pemimpin negara.
Salah satu program yang digagas oleh pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah pemberian makan siang dan susu gratis untuk anak-anak sekolah dan pesantren. Program ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak-anak, serta mencegah dan menurunkan stunting. Program ini juga diharapkan dapat meningkatkan perputaran ekonomi rakyat, karena rantai pasok berasal dari UMKM setempat.
Namun, seberapa relevan dan efektifkah program ini dalam menangani masalah stunting di Indonesia? Apa pendapat ahli dari Amerika tentang program ini? Berikut adalah beberapa poin yang dapat dijadikan bahan pertimbangan:
- Program ini perlu didukung oleh intervensi gizi lainnya yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Menurut Dr. Robert E. Black, ahli kesehatan masyarakat dari Johns Hopkins University, Amerika, stunting disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, seperti kekurangan gizi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI yang adekuat, sanitasi dan hygiene, serta akses ke pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, intervensi gizi yang efektif harus dilakukan sejak 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak konsepsi hingga anak berusia dua tahun, dengan melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan. Program pemberian makan siang dan susu gratis hanya dapat memberikan manfaat bagi anak-anak usia sekolah, yang sebagian besar sudah melewati periode kritis tersebut. Selain itu, program ini juga perlu memperhatikan kualitas, kuantitas, dan variasi makanan yang diberikan, agar tidak menimbulkan masalah gizi lainnya, seperti kegemukan atau obesitas.
- Program ini perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Menurut Dr. Lynnette M. Neufeld, ahli gizi dari Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), Amerika, program pemberian makan siang dan susu gratis harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti budaya, agama, preferensi, ketersediaan, dan keterjangkauan makanan di setiap daerah. Program ini juga harus melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat setempat, termasuk petani, pedagang, pengusaha, dan kelompok perempuan, agar program ini dapat berkelanjutan dan berdampak positif bagi perekonomian lokal. Selain itu, program ini juga harus memperhatikan aspek lingkungan, seperti pengelolaan sampah, penghematan energi, dan pengurangan emisi gas rumah kaca, agar program ini tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
- Program ini perlu didasarkan pada bukti ilmiah dan evaluasi yang objektif. Menurut Dr. David R. Thurnham, ahli gizi dari Sight and Life Foundation, Amerika, program pemberian makan siang dan susu gratis harus didasarkan pada bukti ilmiah yang menunjukkan efektivitas dan efisiensi program tersebut dalam meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anak, serta menurunkan stunting. Program ini juga harus dilengkapi dengan sistem pemantauan dan evaluasi yang objektif, transparan, dan akuntabel, agar program ini dapat ditingkatkan kualitasnya dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Program ini juga harus bersifat adaptif dan responsif terhadap perubahan dan tantangan yang mungkin terjadi di lapangan, seperti bencana alam, konflik sosial, atau pandemi.