NAGOYA. Di lapangan Okagie, Kota Kariya, Provinsi Aichi, Jepang, suasana menjadi hangat saat warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) berkumpul untuk merayakan Idul Fitri 1445 Hijriah. Profesor Singgih Tri Sulistiyono, seorang pengajar di Universitas Nagoya, berbagi kesan mendalam tentang perayaan yang tidak hanya menghubungkan umat Muslim dengan tradisi mereka tetapi juga dengan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Dalam khutbah yang penuh makna, Ustadz Zulia Aziz Kholison dan Ustadz Roidotul Nur Rohman menyampaikan pesan yang mendalam bagi umat Muslim di Jepang, terutama tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia dan memperkokoh iman serta ketakwaan kepada Allah SWT. Prof. Singgih menyoroti beberapa ajakan dan himbauan yang disampaikan, termasuk pentingnya dakwah melalui akhlak yang mulia di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.
"Pertama-tama, mari kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, serta memperkuat hubungan sosial dengan sesama manusia. Di Jepang, di mana umat Islam berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas bukan Muslim, dakwah melalui akhlak yang mulia sangatlah penting,” ujar para khotib dan penasehat.
Mereka juga menekankan pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, sebuah nilai yang sangat ditekankan dalam masyarakat Jepang yang dikenal toleran dan disiplin. "Jadi janganlah masyarakat Indonesia ini kalah dengan masyarakat Jepang. Masyarakat Indonesia yang terkenal lebih religious daripada masyarakat Jepang harus lebih toleran, rukun, menyaudara, jujur, amanah, saling membantu, dermawan dan sebagainya," tambah Prof. Singgih.
Ustadz Nur Rohman dalam nasehatnya mengingatkan pentingnya menunjukkan akhlak yang mulia dan patuh terhadap peraturan masyarakat dan pemerintah, sambil menjaga diri dari perbuatan yang dapat melanggar agama. "Kita harus memperlihatkan akhlak yang mulia dan patuh terhadap peraturan masyarakat dan pemerintah. Namun, kita juga harus menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang dapat melanggar agama," jelasnya.
Prof. Singgih menutup dengan pesan bahwa umat Islam di Jepang harus menjaga keseimbangan antara menjalankan prinsip agama dan menghormati tradisi setempat, menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin melalui perilaku akhlaqul karimah.
- Prof Singgih: Waspada Politik Adu Domba!
Jakarta (30/9). Peristiwa G30S PKI, atau gerakan 30 September yang diinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia, merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Dalam catatan sejarah, peristiwa berdarah ini, yang terjadi pada tahun 1965, adalah upaya propaganda yang bertujuan untuk menumbangkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menggantikan ideologi dasar negara, Pancasila, dengan komunisme.
Singgih Tri Sulistiyono, Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro, menyatakan bahwa tragedi kelam ini dipicu oleh dominasi tiga ideologi—Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM)—yang berlangsung selama era Demokrasi Terpimpin, dari tahun 1959 hingga 1965, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.
“Semua kelompok itu saling bersaing dan berebut kekuasaan. Persaingan itu dijalankan dengan berbagai cara, dengan isu-isu kebudayaan, isu-isu agama, politik ideologi dan sebagainya sehingga ujungnya meletus konflik secara terbuka antara kekuatan PKI dan kekuatan nasionalis agama,” terang Singgih yang juga Ketua DPW LDII Jawa Tengah sekaligus Ketua DPP LDII.
Awalnya, Indonesia berupaya menggabungkan tiga ideologi besar: nasionalisme, Islam, dan marxisme, untuk melawan penjajahan. Namun, kontroversi seputar NASAKOM memicu perdebatan dalam politik Indonesia. Penerapan ideologi NASAKOM malah membuka peluang bagi PKI untuk mengusahakan penggantian ideologi Pancasila dengan Komunisme di Indonesia.
Puncak usaha PKI terjadi di akhir September 1965, saat terjadi pemberontakan Gerakan 30 September, yang berujung pada pembunuhan sadis terhadap enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat.
”Peristiwa itu merupakan peristiwa adu domba kekuatan asing, dengan Blok Barat yang liberal kapitalis dan Blok Timur yang sosialis komunis, masing-masing blok berusaha untuk mengadu domba berbagai kekuatan lokal nasional agar mengikuti salah satu blok di antara mereka,” lanjut Singgih.
G30S/PKI menurut Singgih menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia, yang memperkuat posisi Pancasila sebagai dasar negara. Singgih juga mengatakan peristiwa tersebut menekankan pentingnya menjaga persatuan dan nilai-nilai kebangsaan serta mengingatkan bangsa Indonesia terhadap bahaya ideologi ekstrem yang kerap datang dari kekuatan asing yang tak sejalan dengan prinsip Pancasila.
“Jika kita ingin memfokuskan pada satu unsur, misalnya ingin mendirikan negara agama maka pasti bertentangan dengan sila-sila yang lain. Maka jika kita ingin mencapai integrasi suatu bangsa maka Pancasila harus dijalankan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara,” tekannya.
Singgih menilai peristiwa G30S/PKI mengajarkan bangsa Indonesia agar bermawas diri dalam menghadapi pengaruh perang ideologis, “Pelajarannya kita harus hati-hati dengan politik adu domba baik dari kekuatan asing maupun kekuatan yang ada di dalam negeri,” lanjutnya.
Solusinya adalah dengan mengaktualisasikan dan memurnikan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai basis kekuatan Ideologi bangsa dan negara, “Demikian juga dalam tataran dan pemerintahan bisa mencontohkan bagaimana pancasila bisa dilaksanakan baik di dalam sistem hukum, pemerintahan, demokrasi, politik, dan sebagainya,” papar Singgih.
Singgih juga menilai peristiwa G30S/PKI juga mengingatkan bangsa Indonesia agar dewasa dalam berdemokrasi. Menurutnya, perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan, apalagi bangsa Indonesia merupakan bangsa plural yang terdiri dari berbagai perbedaan suku, agama, ras. Untuk itu, Pancasila adalah titik temu dan solusi untuk menyatukan perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
“Yang kita kembangkan demokrasi yang dewasa. Demokrasi adalah perbedaan pendapat dan pandangan kemudian kita musyawarahkan, lalu kita ambil jalan keluarnya. Kalau itu sudah merupakan keputusan bersama, kita laksanakan demi kepentingan bersama,” tutup Singgih.
- Prof Singgih: Pemerintah Berperan Besar Menanamkan Nilai-Nilai Dasar Budaya Bangsa
Semarang, 29 Februari 2024 – Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono menegaskan peran besar pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai dasar budaya bangsa. Hal ini ia sampaikan dalam acara radio “Semarang Trending Topic” dengan tema “Culture Matters, Merevitalisasi dan Menginisiasi Budaya Bangsa” di Radio Idola Semarang pada Kamis (29/2).
“Pemerintah bisa menggunakan kebijakan politiknya untuk menanamkan nilai-nilai dasar budaya bangsa,” jelas Singgih. “Tujuannya agar masyarakat dapat mengikuti dan memiliki standar nilai dan moral yang sama.”
Singgih mengamati adanya kesenjangan kehidupan budaya antara lingkungan sekolah dan masyarakat. “Dampaknya, ketika anak-anak dididik dengan cara yang baik di sekolah, namun saat terjun ke masyarakat dan melihat realitas yang berbeda, mereka bisa menjadi bingung,” terangnya.
Menurut Singgih, kesenjangan ini harus diatasi. “Harus compatible. Ibarat mesin, semua saling mendukung,” kata Ketua DPP LDII tersebut.
Singgih juga mengungkapkan bahwa sebuah bangsa dilahirkan dari rekayasa budaya. “Wewenang ada pada negara. Harus ada gerakan sosial dan kebangsaan, dari pemerintah, ilmuwan, dan berbagai pihak, untuk meneguhkan nilai-nilai dasar budaya bangsa,” imbuhnya.
Tujuannya agar nilai-nilai budaya bangsa dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Setelah itu, barulah kita mengatur gerakan kebudayaan yang dipahami oleh seluruh kelompok masyarakat,” kata Singgih.
Senada dengan Singgih, Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tri Marhaeni Pudji Astuti menegaskan pentingnya implementasi nilai-nilai budaya bangsa yang mendarah daging. “Yang disayangkan, jika yang diwariskan adalah nilai-nilai yang tidak benar,” ujarnya.
Oleh karena itu, Tri Marhaeni menekankan perlunya kesesuaian antara budaya yang bersifat normatif dan implementatif. “Normatif bersumber dari nilai, aturan, dan konsep baik yang disepakati. Aktualnya, menjadi pandangan hidup,” jelas Tri Marhaeni.
Tri Marhaeni juga menekankan pentingnya keteladanan dan konsistensi. Ia mencontohkan, sebagai dosen, ia selalu hadir di kelas sebelum mahasiswanya datang. “Tidak perlu berbicara, jika mahasiswa terlambat mereka akan malu,” tuturnya.
Melalui upaya bersama dari pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat, diharapkan nilai-nilai budaya bangsa dapat ditanamkan dan diimplementasikan dengan baik, sehingga generasi muda dapat tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat dan berlandaskan budaya bangsa.
- Hari Nusantara 2022, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Ingatkan Awal Mula Kepulauan Diakui Dunia
Jakarta (13/12). Deklarasi Juanda yang diumumkan pada dunia pada 13 Desember 1957 itu, kini diperingati sebagai Hari Nusantara. Peringatan itu merupakan penghormatan kepada jasa Kabinet Juanda, yang mendeklarasikan batas kedaulatan laut nasional sepanjang 12 mil dari garis pantai terluar. Terutama laut pedalaman menjadi wilayah kedaulatan Indonesia secara utuh.
“Kabinet Juanda berjasa dengan Deklarasi Juanda yang mengubah luas laut Indonesia. Sebelumnya, Indonesia waktu itu menggunakan Ordinansi Belanda tahun 1939, untuk menentukan batas laut, territorial Hindia Belanda adalah 3 mil diukur dari garis air surut dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan,” ujar Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP LDII.
Dengan adanya perubahan konsep teritorial itu, konsep lautan dan daratan menjadi satu kesatuan. “Bangsa ini berterimakasih kepada Profesor Mochtar Kusumaatmadja, yang dengan pemikirannya berhasil menerapkan prinsip ‘tanah’ air atau konsep konsep ‘nusantara’ yang memandang kedaulatan darat (kepulauan) dan laut sebagai satu kesatuan,” papar Singgih. Menurutnya, Prof. Mochtar menyadari pentingnya kesatuan negara melalui penetapan batas laut Indonesia. Dari deklarasi itu, akhirnya pada 1982 ditetapkan konsep Wawasan Nusantara yang dianggap sepadan dengan konsep Archipelagic State menjadi bagian integral dari United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS).
Sejak saat itu, bentuk negara kepulauan mulai diakui dan dikenal dunia. Pengakuan ini juga berdampak positif bagi Indonesia di mana luas wilayah NKRI bertambah luas dua kali lipat lebih tanpa pertumpahan darah.
Menurut Singgih, Mochtar Kusumaatmadja memiliki rujukan yang kuat mengenai konsep Wawasan Nusantara. “Seperti diketahui bahwa Mochtar telah mengambil spesialisasi dalam hukum internasional di Universitas Indonesia. Ia juga menerima gelar LLM dari Yale Law School. Selama belajar di Yale, ia mendapatkan pengaruh kuat dari Myres McDougal yang pada waktu memberikan kuliah Hukum Internasional mengkaji kasus The Anglo-Norwegian Fisheries Case 1949,” ujarnya.
Namun yang dirumuskan oleh Mochtar ternyata jauh melampaui ekspektasi baik dari Tim Interdeparmental yang diketuai oleh Pirngadi, yang menghendaki luas laut territorial dari 3 mil menjadi 12 mil, maupun ekspektasi dari Menteri Chaerul Shaleh yang menghendaki agar Laut Jawa menjadi Laut Pedalaman Indonesia. Sehingga tidak lagi bisa digunakan oleh kapal-kapal asing (terutama Belanda) untuk kepentingan yang merugikan Indonesia.
Bahkan juga agar Laut Jawa tidak lagi digunakan seenaknya untuk latihan perang oleh Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Menurut Singgih, dengan jenius Mochtar menggambar di atas peta yang ia miliki, berupa straight baseline atau garis dasar lurus yang ditarik dari satu titik terluar ke titik terluar lain, dari wilayah darat atau pulau yang dikuasai oleh Indonesia.
“Ini sering disebut sebagai metode point to point. Hasilnya luar biasa, wilayah Indonesia baik daratan maupun lautan semacam diikat oleh sabuk straight baseline sehingga tampak dengan kasat mata bagaimana wilayah perairan dan daratan (pulau) merupakan satu kesatuan. “Ini melebihi apa yang diharapkan Chaerul Shaleh karena bukan hanya Laut Jawa tetapi juga Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura menjadi wilayah Laut Pedalaman Indonesia yang berada sepenuhnya di bawah kepemilikan Indonesia,” ujarnya.
Demikian juga desain Mochtar juga sudah memenuhi harapan Tim Interdepartemental yang menghendaki luar Laut Teritorial diperluas dari 3 mil menjadi 12 mil. Dalam hal ini Mochtar juga mengkonsep Laut Teritorial 12 mil ditarik dari straight baseline. Dan inilah yang saat ini bangsa Indonesia miliki.
“Dengan potensi kekayaan alam laut Rp3.000 triliun per tahun, PR kita sekarang adalah merawat, memanfaatkan dan mengembangkan apa yang telah dirintis oleh Profesor Mochtar. Jangan sampai warisan yang merupakan hasil pemikiran yang brilian ini hancur, karena salah urus dan niat yang melenceng dari cita-cita luhur para pendiri bangsa,” pungkas Singgih.
Menyusun Peta Pembangunan Ekonomi Biru untuk Zero Emission
Hari Nusantara yang dicanangkan sebagai peringatan pada tahun 1999 memiliki tujuan menjadikan bidang kelautan sebagai arus utama pembangunan nasional dan dapat mengelola potensi sumber daya alam maritim untuk kesejahteraan rakyat, serta pembangunan terintegrasi dengan kepulauan terluar atau terpencil.
Memanfaatkan momen tersebut, pemerintah menggaungkan upaya pemanfaatan potensi maritim dengan mengembangkan pembangunan ekonomi biru. Sesuai tema yang diangkat, “Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat” pemerintah menetapkan komitmen untuk Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pembangunan ekonomi biru dan hijau menjadi agenda pemerintah selanjutnya untuk memulihkan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. “Survei World Economic Forum menunjukkan resiko iklim yang menjadi hal kritis di dunia, sehingga pembangunan ekonomi dunia mesti beraspek lingkungan,” ujarnya pada G20 Side Event Development Ministrial Meeting (DMM) 2022, September lalu.
Ia menegaskan, ekonomi biru akan menjadi sumber pertumbuhan dan transformasi ekonomi pada 2045. Dari modal dan potensi yang Indonesia miliki, Suharso menilai Indonesia akan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi secara global. “Ekonomi biru bersifat lintas sektor, karena itu peta jalan yang dirancang pemerintah akan menjadi fasilitator kolaborasi para pemangku kepentingan menciptakan kesejahteraan melalui transformasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
Suharso menambahkan, kerangka pembangunan ekonomi biru Indonesia diluncurkan bersama dengan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) mencakup strategi dan inisiatif utama bagi Indonesia dalam keseimbangan konservasi dan pemanfaatan serta pengelolaan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan.