Godaan Iblis kepada Orang-Orang Zuhud dan Ahli Ibadah

Godaan Iblis kepada Orang-Orang Zuhud dan Ahli Ibadah


Terkadang orang awam mendengar ragam kecaman terhadap dunia dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan banyak hadits, lalu ia mengambil kesimpu- lan ekstrim bahwa keselamatan diri hanya dengan meninggalkan dunia. Sementara ia tidak mengerti apa sesungguhnya kriteria dunia yang terlaknat tersebut. Di sini iblis menunggangi dan membisikinya, "Di akhirat kelak kamu tidak akan selamat kecuali dengan meninggalkan dunia." Lalu orang itu pun keluar menuju gunung, sehingga tidak menjalankan shalat Jum'at, shalat berjamaah dan tidak mau belajar ilmu agama. Di sana ia laksana hewan liar. Iblis membisikkan pesan bahwa itulah zuhud yang hakiki. Bagaimana tidak terpengaruh, ia sendiri senantiasa mendengar cerita-cerita tentang fulan yang menyendiri dan fulan yang beribadah di gunung. Padahal, bisa jadi di antara mereka ada yang memiliki keluarga yang terlantar atau seorang ibu yang senantiasa menangis karena berpisah dengannya. Bahkan, mungkin ia sendiri tidak paham rukun-rukun shalat, atau ia terlilit kazhaliman yang belum usai.

Sesungguhnya iblis bisa mengelabui orang ini karena kedangkalan ilmunya. Termasuk tindakan bodohnya adalah berpuas diri menjadi orang yang tidak mengerti. Andaikata ia diberi pertolongan oleh Allah Ta'ala sehingga bisa belajar kepada seorang ulama yang mengerti hakikat syariat tentu ia akan menunjukkan kepadanya bahwa dunia tidak dilaknat terkait pribadinya. Bagaimana mungkin dunia yang menjadi anugerah dari Allah dilaknat, hal vital dalam keberlangsungan hidup umat manusia dan juga sa- rana utama mencari ilmu dan beribadah, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan masjid untuk shalat. Tetapi yang dikecam adalah menumpuk harta dunia yang tidak halal, menggunakannya dengan cara berlebihan dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan, serta menggunakaannya sesuai selera dan hawa nafsu dengan mengesampingkan petunjuk syariat. Orang itu juga akan mengerti bahwa mengucilkan diri di gunung tidak dibolehkan dan itu perbuatan yang dilarang, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri melarang seseorang bermalam sendirian. Ia juga akan tahu bahwa segala tindakan yang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti shalat Jum'at dan shalat jamaah adalah kerugian dan tidak ada keuntungan sama sekali. Jauh dari ilmu dan ulama akan semakin mempertebal kebodohannya. Berpisah dengan orang tua untuk hal ini merupakan tidakan durhaka. Dan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar.

Adapun terkait cerita orang-orang yang mengucilkan diri di gunung maka mungkin saja mereka sudah tidak memiliki keluarga, ayah dan ibu sehingga mereka keluar ke suatu tempat untuk beribadah bersama orang-orang yang dalam kondisi seperti itu. Sementara orang yang tidak ada kemungkinan-kemungkinan positif ini, maka mereka telah bertindak salah, siapa pun mereka.

Sebagian kalangan salafush-shalih berkata, "Pernah kami mengucilkan diri ke gunung agar dapat berkonsentrasi ibadah secara penuh. Lalu datang Sufyan Ats-Tsauri menemui kami dan berhasil membujuk kami untuk kembali menjalani kehidupan normal."


Godaan Iblis kepada Orang-orang Zuhud

Termasuk belit rayuan iblis kepada orang-orang zuhud (yang tidak mementingkan kehidupan duniawi) adalah keengganan mereka mencari ilmu demi menjalani kehidupan zuhud mereka. Mereka benar-benar mengganti kebaikan dengan keburukan. Penjelasan pilihan hidup negatif ini bahwa seorang yang zuhud kemanfaatannya bersifat pribadi, sementara ulama kemanfaatannya bermanfaat secara umum. Betapa banyak ulama yang mengembalikan seorang ahli ibadah ke jalan yang benar.

Termasuk jeratan iblis kepada mereka adalah iblis berhasil membisikkan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang dibolehkan oleh syariat. Untuk itu sebagian dari mereka ada yang tidak mau mengonsumsi makanan yang melebihi roti gandum, ada yang tidak pernah merasakan buah-buahan, dan ada yang sedikit makan sampai tubuhnya layu dan kering, menyiksa diri dengan berpakaian berbahan bulu dan tidak mau meminum air dingin.

Ini semua bukan metode hidup yang dijalani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti mereka. Mereka rela lapar jika memang tidak ada makanan. Jika mereka menemukan makanan maka mereka memakannya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri makan daging dan sangat suka, makan daging ayam, suka manisan, dan gemar meminum air dingin.


Ada seorang laki-laki yang berkata, "Aku tidak akan makan kue puding, karena aku tidak bisa mensyukurinya." Mendengar ungkapan ini Hasan Al-Bashri berkata, "Ini adalah seorang yang bodoh, apakah ia sudah mensyukuri air dingin?"

Sufyan Ats-Tsauri jika bepergian maka di dalam bekal yang ia bawa terdapat daging bakar dan faludzaj (sejenis kue puding). 

Seyogianya manusia sadar bahwa tubuhnya adalah kendaraannya dan harus bersikap ramah kepadanya agar ia sampai pada tujuan. Untuk itu, hendaknya ia mengambil apa pun untuk menyehatkannya dan meninggalkan hal-hal yang menyakitinya, seperti kenyang dan berlebihan dalam memperturutkan selera, karena hal ini menyakitkan tubuh sekaligus menyalahi perintah agama.

Umat manusia tentu berbeda kemampuan dan tabiatnya. Orang Arab pedalaman dan nomaden yang hanya menggunakan pakaian bulu dan hanya meminum susu murni tidak akan kita kecam, karena memang tu- buh mereka kuat. Sementara penduduk desa jika memakai pakaian bulu dan memakan buah-buahan maka kita juga tidak akan mengecam mereka. Kita juga tidak akan menuduh mereka menyiksa diri, karena memang ini adalah kebiasaan suatu komunitas. Adapun jika tubuh sering dimanjakan dengan kesenangan dan kenikmatan maka kami melarang pemiliknya melakukan apa pun yang menyakiti tubuhnya. Jika ia zuhud dan lebih memilih meninggalkan kesenangan-kesenangan dengan alasan tidak boleh berlebih-lebihan dalam makanan halal, atau karena makanan halal menyebabkannya banyak makan, sehingga menjadikannya malas dan banyak tidur. Orang seperti ini butuh pengetahuan khusus tentang apa pun yang membahayakannya jika ditinggalkan dan yang tidak membahayakannya, sehingga ia bisa menciptakan keseimbangan tanpa menyakiti tubuhnya.


Dalam hal ini tidak usah menoleh pada konsep Al-Harits Al-Muhasibi dan Abu Thalib Al-Makki tentang meminimalkan makan dan memerangi nafsu dengan meninggalkan hal-hal yang boleh, karena mengikuti metode Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan shahabatnya jauh lebih utama.

Ibnu Aqil mengatakan, "Sungguh mengherankan tentang cara kalian dalam menjalankan agama! Adakalanya berdasarkan hawa nafsu yang diperturutkan atau berdasarkan kezuhudan yang diada-adakan, antara larut dalam permainan kekanak-kanakan dan melalaikan hak-hak, meng- abaikan keluarga dan menyendiri di pojok-pojok masjid. Hendaknya mereka beribadah dengan nalar dan bimbingan syariat."

Di antara belitan iblis adalah ia membisikkan bahwa perilaku zuhud adalah menerima yang rendah dan murah dalam hal makanan dan ber- pakaian saja. Mereka menerima kebersahajaan ini, tetapi hati mereka sangat berambisi mencari pangkat dan kedudukan. Kalian bisa melihat sendiri mereka sangat berharap dikunjungi para pembesar pemerintah, lebih menghormati orang-orang kaya, tanpa peduli orang-orang miskin, dan menampakkan kelembutan saat berjumpa dengan siapa saja, seolah mereka baru keluar dari persemedian. Ada juga yang mengembalikan pemberian agar tidak dikatakan, "la sudah tidak zuhud lagi." Padahal banyaknya orang-orang yang menciumi tangannya merupakan pertanda kekuasaan dunia yang paling jelas, karena puncak dunia adalah kekuasaan itu sendiri.


Godaan Iblis kepada Orang-Orang Zuhud dan Ahli Ibadah


Godaan Iblis kepada Ahli Ibadah

Kebanyakan hal yang dibuat sarana iblis untuk membelit para ahli ibadah dan orang-orang zuhud adalah riya (pamer) yang samar (khafiy ar-riya). Adapun riya yang sangat jelas maka itu tidak masuk dalam perangkap iblis, seperti memperlihatkan tubuh yang kurus, wajah pucat dan rambut acak-acakan agar nampak kezuhudan. Begitu juga melirihkan suara agar terlihat khusyuk, pamer shalat dan sedekah. Ini semua hal-hal nampak yang tidak samar.

Tetapi di sini saya (Ibnul Jauzi) menitikberatkan pembahasan pada riya yang samar. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,


إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنَّيَّاتِ.

"Sesungguhnya semua perbuatan tergantung pada niatnya." (HR. Al- Bukhari dan Muslim)

Ketika amal perbuatan tidak ditujukan untuk Allah Ta'ala semata maka amal itu tidak akan diterima.


Malik bin Dinar mengatakan, "Katakanlah kepada orang-orang yang tidak jujur dalam beribadah, "Jangan memayahkan diri."

Ketahuilah, seorang mukmin tidak sekali-kali menginginkan dengan amal perbuatannya kecuali hanya Allah semata. Tetapi terkadang disusupi oleh riya yang samar, sehingga amalan tersebut tidak jelas lagi dan me- nyelamatkan diri darinya sangat susah. Diriwayatkan dari Yasar, ia mengatakan, "Yusuf bin Asbath pernah berkata kepadaku, "Belajarlah ilmu tentang keabsahan amal perbuatan dari penyakit amal perbuatan, karena saya sendiri mempelajarinya selama 22 tahun."

Karena sangat takut kemasukan riya', orang-orang shalih dahulu menutupi amal baik mereka dengan melakukan kebalikannya. Ibnu Sirin sangat periang di siang hari, namun menangis tiada henti di malam hari. Ibnu Adham pernah sakit, dan di sampingnya terdapat makanan- makanan orang-orang yang sehat.

Diriwayatkan dari Bakkar bin Abdullah, bahwa ia mendengar Wahab bin Munabbih berkata, "Ada seorang yang paling istimewa pada saat itu. Orang-orang yang berziarah kepadanya sangat banyak dan mereka mendapatkan wejangan-wejangannya. Suatu saat orang-orang berkumpul mengelilinginya dan ia berkata, "Kita telah jauh berpisah dari hal-hal duniawi. Kita juga telah meninggalkan harta benda dan keluarga karena takut maksiat. Sekarang aku lebih khawatir justru kemaksiatan yang lebih besar menerpa kita daripada yang menimpa orang-orang kaya. Kita lihat salah seorang di antara kita ada yang senang dilayani dan segala kebutuhannya dicukupi oleh orang lain. Jika bertemu dengan orang, ia disalami dan dihormati karena kedudukan agamanya."

Kata-kata ini langsung tersiar dan sampai kepada raja setempat. Raja itu pun kagum dan terpesona dengan kata-kata ini. Maka ia segera menaiki kendaraannya untuk datang kepada orang alim ini, agar bisa menyam- paikan salam kepadanya dan melihatnya. Ketika laki-laki itu melihat raja maka seseorang mengatakan kepadanya, "Ini adalah raja yang datang untuk menemuimu dan mengucapkan salam kepadamu." Orang alim itu berkata, "Apa yang akan ia lakukan?" Orang itu berkata, "la datang karena mendengar nasihat-nasihatmu." Orang alim itu berkata kepada pem- bantunya, "Apakah masih ada makanan?" Sang pembantu berkata, "Ada, secuil buah sisa makanan sahur tadi." Lalu pembantu itu datang dengan membawa secuil buah yang diletakkan di atas nampan dan diletakkan di depan tuannya. Orang alim itu langsung mengambilnya dan memakan- nya. Padahal ia senantiasa berpuasa di siang hari dan tidak pernah batal. Raja langsung menghadap dan mengucapkan salam kepadanya. Orang alim itu pun menjawabnya dengan suara samar dan masih asyik me- makan buah yang ada di tangannya. Melihat hal itu raja berkata, "Mana laki-laki itu." Pembantu orang itu berkata kepada raja, "Ini orangnya." Raja berkata, "Orang yang makan ini?" Orang-orang yang ada di sisinya menjawab, "Iya." Raja langsung berkata, "Ia tidak memiliki keistimewaan sama sekali." Raja langsung berpaling darinya dan pulang. Orang alim itu langsung berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memalingkan kamu dari hal ini."

Dalam riwayat yang lain dari Wahab disebutkan, "Ketika raja meng- hadap kepada laki-laki tersebut maka laki-laki itu menghidangkan maka- nannya. Dan ia langsung mengumpulkan sayuran dalam satu suapan yang besar, lalu menyelupkannya ke dalam mentega dan memakannya dengan lahap. Raja bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaanmu, wahai fulan?" Ia menjawab, "Biasa, seperti manusia lainnya." Mendengar jawaban itu raja langsung menarik pelana kendaraannya dan berkata, "Tiada yang istimewa dalam diri orang ini." Laki-laki itu berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mengenyahkannya dariku, sementara ia mencercaku."

Sebagian orang zuhud ada yang menggunakan kezuhudannya secara lahir batin, tetapi ia sadar harus berterus terang kepada istri atau sahabat- sahabatnya bahwa ia telah berkomitmen meninggalkan duniawi, sehingga ia lebih mudah dan dapat bersabar dalam menapaki pilihannya. Andai ia ingin terbebas dalam kezuhudannya tentu ia harus makan bersama keluarganya sekadar berkumpul dan berbincang secukupnya.

Sebagai satu figur yang menjadi contoh adalah Dawud bin Abu Hind yang telah berpuasa selama dua puluh tahun tanpa diketahui oleh keluar- ganya. Setiap pagi ia pasti membawa makanan sarapannya ke pasar dan menyedekahkannya di jalan. Teman-temannya di pasar menyangka ia telah sarapan di rumah, sementara keluarganya mengira ia sarapan di pasar. Seperti inilah keadaan kalangan Salafush-shalih dahulu. 


Kritik Gaya Hidup Orang-orang yang Zuhud

Di antara orang-orang yang berperilaku zuhud ada yang kekuatannya saat mengucilkan diri di dalam masjid, mushalla atau pun di gunung. Kebanggaannya adalah jika manusia mengetahui kesendiriannya. Terkadang alasannya mengurung diri adalah "Aku sangat takut jika keluar maka akan melihat banyak kemungkaran di depanku."

Di balik itu ia memiliki beberapa maksud yang tersembunyi, di antaranya adalah sombong, memandang rendah orang lain, takut orang lain tidak melayaninya dan menjaga kewibawaan dan kedudukannya, karena hidup bergaul dengan manusia bisa menghilangkan itu semua. Sementara ia ingin namanya bersih dan sanjungan kepadanya senantiasa berlanjut. Bah- kan terkadang maksudnya adalah menutupi aibnya, kekurangannya atau kebodohannya, sehingga ia melakukan ini. Ia sangat bangga jika diziarahi dan enggan berziarah, senang akan kedatangan para pembesar pemerintah kepadanya, mengantrinya orang-orang awam di pintu rumahnya demi mencium tangannya. Sementara ia sendiri tidak pernah menjenguk orang yang sakit dan menghadiri prosesi jenazah, sehingga para pembantunya berkata, "Maklumilah keberadaan syaikh, karena inilah kebiasaannya."

Sungguh, itu adalah kebiasaan yang bertentangan dengan syariat dan melanggarnya.

Jika orang seperti ini butuh makanan, sementara tidak ada orang yang membelikannya maka ia rela menahan lapar yang penting tidak keluar sendiri untuk membeli makanan, karena hal itu bisa menjatuhkan wibawanya dengan berjalan bersama orang-orang awam. Seandainya ia keluar untuk membeli kebutuhannya maka pasti kedudukannya memu- dar dan hatinya guncang.

Padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri keluar masuk pasar untuk membeli kebutuhannya, lalu memikulnya sendiri ke rumahnya. Sementara Abu Bakar Radhiyallahu Anhu memanggul pakaian di atas pundaknya ke pasar dan melakukan transaksi jual beli.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Hanzhalah, ia berkata, "Suatu saat Abdullah bin Salam berjalan sementara di atas kepalanya terdapat seikat kayu. Orang-orang berkata kepadanya, "Apa yang mendorongmu melaku- kan ini, padahal Allah telah memberimu kekayaan yang melimpah?" Ab- dullah bin Salam menjawab, "Aku ingin mengusir sifat sombong dalam diriku, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,


لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَبْدُ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنَ الْكِبْرِ.

"Tidak akan masuk surga seorang hamba yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzarrah dari kesombongan.


Apa yang saya (Ibnul Jauzi) sebutkan terkait keluar masuk pasar untuk membeli kebutuhan dan lainnya adalah kebiasaan salafush-shalih dahulu. Sekarang kebiasaan seperti ini telah berubah sebagaimana perubahan perilaku dan cara berpakaian, sehingga saya tidak setuju seorang ulama ke pasar untuk membeli kebutuhannya, karena itu akan menghilangkan cahaya ilmu di hadapan orang-orang bodoh, padahal menghormatinya menurut mereka sangat diagungkan dan demi menjaga hati mereka. Sementara itu, tidak ada larangan menggunakan suatu cara untuk me- munculkan kewibawaan di dalam hati masyarakat.

Jadi, tidak semua hal yang dilakukan oleh ulama salafush-shalih terkait hal yang tidak bisa merubah hati manusia saat itu harus dilakukan pada saat sekarang ini.

Imam Al-Auza'i berkata, "Dahulu kita tertawa dan bergurau, ketika kita sudah menjadi panutan maka saya melihat itu tidak boleh dilakukan lagi."

Diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Adham, bahwa pada suatu hari murid-muridnya bergurau. Lalu ada seseorang yang mengetuk pintu. Maka Ibrahim menyuruh mereka diam dan tenang. Murid-muridnya ber- kata, "Kamu mengajari kami riya`?" Ibrahim berkata, "Sesungguhnya saya tidak suka ada orang bermaksiat kepada Allah gara-gara kalian."

Sesungguhnya Ibrahim bin Adham takut perkataan orang-orang bodoh, "Lihatlah orang-orang zuhud itu, apa yang mereka kerjakan?" Karena memang orang-orang awam tidak menoleransi orang-orang ahli ibadah melakukan hal-hal seperti itu.


Godaan Iblis kepada Mereka yang Mewajibkan Hal-hal yang Tidak Wajib

Di antara mereka terdapat kalangan jika diminta untuk mengenakan baju berbahan halus maka ia tidak mau mengenakannya dengan alasan agar ketenaran dalam kezuhudannya tidak luntur. Ia menahan diri dari tersenyum, apalagi tertawa. Iblis mendukungnya bahwa sikap ini untuk menjaga moralitas umat. Padahal sesungguhnya itu adalah perbuatan riya` demi melanggengkan undang-undang kewibawaannya, sehingga kamu melihatnya selalu menundukkan kepala dengan wajah yang murung. Namun jika ia sendirian maka kamu akan melihatnya seperti seekor harimau yang galak.

Sementara salafush-shalih berusaha menghalau setiap hal yang men- jadikannya masyhur dan senantiasa berlari menjauh dari tempat yang mereka bisa dikenali.

Yusuf bin Asbath berkata, "Suatu saat aku keluar dari daerah Sabaj dengan berjalan kaki sampai di daerah Mishishah dengan memanggul tas di pundakku. Tak lama ada seorang yang berdiri dari toko kelontongnya seraya mengucapkan salam kepadaku dan ada orang lain juga mengucap kan salam untukku. Maka segera aku meletakkan tasku dan aku masuk ke dalam masjid, lalu shalat dua rakaat. Orang-orang memandangiku, bahkan seseorang langsung berada di depan wajahku. Aku berkata dalam hati, "Berapa lama hatiku bisa bertahan akan hal ini?" Kemudian aku mengambil tasku dan segera kembali lagi ke Sabaj dengan keringat dan keluh yang sangat deras. Dan aku pun tidak pernah kembali lagi kepada hatiku selama dua tahun."

Di antara orang-orang zuhud ada yang memakai pakaian yang robek dan dibiarkan saja tanpa dijahit, tidak pernah membetulkan surban kepalanya, dan tidak menyisir jenggotnya, agar terlihat bahwa apa yang ada padanya jauh lebih baik daripada harta dunia.

Ini masuk dalam perilaku-perilaku riya`. Jika seseorang benar-benar jujur berpaling dari segala kepentingan-sebagaimana pernah ditanyakan kepada Dawud Ath-Tha`i, "Selayaknya kamu menyisir jenggotmu." Maka ia menjawab, "Saya sangat sibuk sehingga tidak sempat menyisirnya"- maka hendaknya dimengerti bahwa pola hidup seperti itu tidak benar, karena bukan seperti ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya berperilaku. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senan- tiasa menyisir rambut, memakai minyak dan juga memakai wewangian, padahal beliau seorang manusia yang paling sibuk memikirkan akhirat.


Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma juga selalu mengecat jenggotnya dengan pacar dan warna jingga, padahal keduanya adalah shahabat yang paling zuhud. Barangsiapa yang mengaku kedudukan dirinya melebihi sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan perilaku para shahabat maka itu bualan belaka.

Di antara orang-orang zuhud ada yang diam saja dan cenderung men- jauh dari keluarganya, sehingga ia menyakiti mereka dengan keburukan perangainya. Ia lupa sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi,


إِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.

"Sesungguhnya keluargamu memiliki hak atas kamu." (HR. Abu Dawud)


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri pernah bergurau, bermain dengan anak-anak, bercengkerama dengan istri-istri beliau, berlomba lari dengan Aisyah dan lainnya, yang ini semua menjelaskan perilaku sopan keseharian beliau.

Sementara orang yang mengaku zuhud menjadikan istrinya seperti janda dan anaknya sebagai yatim karena ia meninggalkan mereka dan keburukan perangainya. Dia melihat bahwa mengurusi mereka mengham- batnya dari amalan akhirat. Orang itu tidak sadar-karena kedangkalan ilmunya- bahwa berperilaku baik dengan keluarga juga amalan akhirat.


Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Jabir,


هَلَّا تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ.

"Mengapa engkau tidak sebaiknya menikahi perawan; engkau bisa ber- senang-senang dengannya dan ia juga bersenang-senang denganmu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Terkadang perangai keras dan kasar menguasai seorang yang mengaku zuhud, lalu ia tidak menggauli istrinya sama sekali, sehingga ia mengganti sesuatu yang bersifat fardhu dengan hal yang bersifat sunnah tanpa alasan yang dikuatkan.

Di antara orang zuhud ada yang menghitung-hitung perbuatan baik- nya dan merasa bangga dengan itu. Seandainya dikatakan kepadanya, "Kamu adalah salah satu patok bumi" maka ia langsung membenar- kannya.

Di antara mereka ada yang sangat berharap dapat menyaksikan kara- mah (keistimewaan yang dimiliki seorang wali) yang keluar dari dirinya, sehingga ia membayangkan seandainya ia berada di dekat lautan maka ia mampu berjalan di atas air. Tetapi jika ada masalah pelik yang menghampirinya, lalu ia berdoa dan doanya tidak terkabulkan maka hatinya marah dan menggerutu, seolah ia adalah seorang buruh kasar yang meminta bayaran di akhir pekerjaannya.

Andaikata ia diberi sedikit pemahaman niscaya ia tahu bahwa dirinya tak lain hanyalah seorang budak sahaya, dan budak sahaya tidak boleh mengungkit-ungkit pekerjaannya. Jika ia sedikit berpikir dan menghadir- kan pertolongan Allah Ta'ala kepadanya sehingga ia bisa menjalankan kebaikan niscaya ia sadar akan kewajiban berterima kasih dan bersyukur kepada Allah serta takut melakukan kesalahan dalam mempergunakan- nya. Semestinya ketakutan orang tersebut menyibukkan dirinya untuk berbuat lebih daripada menghitung perbuatan baiknya itu sendiri, se- bagaimana diungkapkan oleh sebagian kalangan salafush-shalih, "Aku mohon ampunan kepada Allah atas semua hal yang tidak jujur dalam setiap ucapanku." Ditanyakan kepadanya, "Apakah kamu telah melaku- kan sesuatu yang kamu sendiri yakin Allah menerimanya?" Ia menjawab, "Jika memang demikian maka aku takut perbuatan itu dikembalikan kepadaku."


Termasuk godaan iblis kepada orang-orang zuhud -karena kedang- kalan ilmu mereka- adalah mereka melakukan segala hal berdasarkan pikiran liar mereka, tidak mau menoleh sedikit pun kepada pendapat seorang ulama.

Ibnu Aqil berkata, "Abu Ishaq Al-Khazzaz adalah seorang yang shalih. Dialah orang pertama yang mengajarkan Al-Qur'an kepadaku. Di antara kebiasaannya adalah tidak mau berbicara dengan bahasa percakapan sehari-hari pada bulan Ramadhan. Ketika bulan Ramadhan tiba maka berbicara dengan menggunakan ayat-ayat untuk segala keperluannya. Saat memberi izin maka ia membaca firman Allah Ta'ala,


ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ 

"Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu." (QS. Al-Maidah: 23).


Pada sore hari puasa ia berkata kepada anaknya dengan membaca firman Allah Ta'ala,

مِنْ بَعْلِهَا وَقِثَّابِهَا 

"Seperti sayur-mayur, mentimun." (QS. Al-Baqarah: 61) 


Perkataannya ini untuk menyuruh anaknya membeli sayuran. Melihat hal ini aku berkata kepadanya, "Apa yang kamu anggap sebagai ibadah sebenarnya adalah kemaksiatan." Kata-kataku membuatnya marah. Lalu aku timpali, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, sehingga tidak pantas digunakan untuk kepentingan-kepentingan duniawi. Hal ini tidak lain seolah-olah engkau menjadikan Al-Qur'an sebagai bantal tidur." Kemudian ia sama sekali tidak menyapaku dan juga tidak mau mendengarkan argumentasi.

Kalangan salafush-shalih sangat keberatan kepada seorang yang zuhud untuk berfatwa, meskipun ia pintar; karena ia tidak menguasai syarat- syarat fatwa. Bagaimana seandainya mereka melihat orang-orang yang mengaku zuhud saat ini yang memberikan fatwa berdasarkan gerakan hati semata?

Diriwayatkan dari Ismail bin Syabbah, ia berkata, "Suatu saat aku da- tang kepada Ahmad bin Hambal di hari yang sama dengan kedatangan Ahmad bin Harb dari Mekah. Ahmad bin Hambal bertanya kepadaku, "Sia- pakah orang dari daerah Khurasan yang datang ini?" Aku menjawab, "Di antara kezuhudannya adalah ini dan ini. Dan di antara perilaku wara'nya adalah ini dan itu." Ahmad bin Hambal berkata, "Tidak seyogianya se- orang yang mengaku memiliki ini dan itu untuk menceburkan dirinya dalam masalah fatwa. "


Antara Para Pelaku Zuhud dan Para Ulama

Belitan iblis atas orang-orang zuhud adalah mereka cenderung me- rendahkan ulama, bahkan mencerca mereka. Mereka selalu mengatakan, "Yang terpenting adalah pengamalan." Orang-orang zuhud itu tidak paham bahwa ilmu adalah lentera hati. Andai mereka mengetahui kedudukan ulama dalam menjaga syariat dan menempati posisi agung para nabi  pasti mereka menganggap diri mereka sendiri laksana seorang yang bisu di hadapan seorang yang ahli sastra dan seorang yang buta di depan orang yang bisa melihat. Ulama merupakan para penunjuk jalan menuju keselamatan dan umat manusia berada di belakang mereka. Sementara keselamatan mereka semua adalah ditanggung oleh setiap pribadi.

Di dalam kitab Ash-Shahihain dari hadits Sahal bin Sa'ad, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu,


فَوَاللَّهِ ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُالنَّعَمِ.

"Demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang berkat dirimu itu maka lebih baik daripada engkau mendapatkan unta merah (yang mahal harganya)." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Di antara faktor orang-orang zuhud mencela ulama adalah kelonggaran ulama dalam menjalankan sebagian hal-hal yang bersifat mubah (boleh) untuk menyokong mereka dalam upaya mencari ilmu, seperti umumnya mereka mencela orang-orang yang mengumpulkan harta benda.

Andai orang-orang zuhud itu memahami arti dan aplikasi mubah, tentu mereka mengetahui bahwa pelaku mubah tidak bisa dicela dan dicerca. Paling tidak, selain orang itu lebih baik daripadanya. Bolehkah orang yang telah melakukan shalat malam mencela orang yang hanya melaksanakan shalat fardhu, lalu tidur?

Sungguh kasihan seorang yang menghadapi seorang zuhud yang bodoh dan puas dengan pengetahuan dangkalnya, sehingga melihat sesuatu sifat hukum yang sunnah sebagai fardhu. Intinya, orang zuhud harus belajar kepada ulama, jika tidak mau belajar maka sebaiknya diam.

Diriwayatkan dari Malik bin Dinar Radhiyallahu Anhu, la berkata, "Sesungguhnya setan mempermainkan para qari (ahli bacaan Al-Qur'an) seperti anak kecil mempermainkan buah pisang."

Yang dimaksud dengan qurra' (ahli bacaan Al-Qur'an) di atas adalah orang-orang zuhud. Kata qurra' merupakan sebutan tempo dahulu yang sangat terkenal.

Hanya Allah yang membimbing ke arah kebenaran dan kepada-Nya kita kembali.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama