Proses belajar mengajar di kelas akan berjalan dengan baik ketika dua komponen ini ada didalamnya, yakni guru dan murid. Guru dikenal sebagai pahlawan tanpa jasa. Ia menjadi sosok yang selalu dikenang oleh murid, bahkan saat guru tidak mengajar mereka lagi. Lalu apa sebenarnya makna kata guru itu sendiri?
Kata guru berasal dari bahasa Sanskerta yang memiliki makna yang sangat dalam dan penuh filosofi. Dalam bahasa Sanskerta, guru (गुरु) secara harfiah berarti "yang berat" atau "berat" dalam arti figuratif, yang merujuk pada seseorang yang memiliki tanggung jawab besar dan penuh kebijaksanaan. Kata ini terbentuk dari dua suku kata, yaitu gu dan ru.
- Gu (गु): Merujuk pada kegelapan atau ketidaktahuan. Kata gu dalam bahasa Sanskerta bisa berarti gelap, kelam, atau tidak terlihat dengan jelas.
- Ru (रु): Merujuk pada cahaya atau penerangan. Kata ru dalam konteks ini berarti terang, jelas, atau yang membawa pencerahan.
Ketika kedua suku kata ini digabungkan, guru menggambarkan seseorang yang memiliki peran untuk menghilangkan kegelapan (ignoransi) dengan memberikan cahaya (ilmu) kepada orang lain. Dalam pengertian ini, guru adalah sosok yang mengarahkan, menerangi jalan bagi para murid dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Makna Guru dalam Konteks Filosofis
Secara filosofi, guru dalam budaya dan ajaran Hindu, Buddha, dan dalam tradisi banyak kebudayaan di Asia, bukan hanya sekedar pengajar atau pendidik dalam konteks akademis, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual dan moral. Guru dianggap sebagai sosok yang memiliki otoritas dalam memberikan pengetahuan yang dapat membawa perubahan dan pencerahan dalam hidup seseorang.
Guru diharapkan memiliki kualifikasi dan keahlian dalam bidang yang diajarkan, namun yang lebih penting lagi adalah kemampuannya untuk mengarahkan seseorang menuju pemahaman yang lebih tinggi, tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam kehidupan yang lebih bermakna.
Dalam bahasa Jawa, istilah guru tidak hanya sekadar merujuk pada seseorang yang mengajar, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam, yaitu digugu lan ditiru. Frasa ini mencerminkan pandangan budaya Jawa yang sangat menghargai peran seorang guru, tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai panutan dalam perilaku dan kehidupan.
Digugu berarti "diyakini" atau "diturutkan." Ini menunjukkan bahwa seorang guru dalam pandangan masyarakat Jawa adalah sosok yang memiliki pengetahuan yang dapat dipercaya dan harus diikuti dengan penuh keyakinan. Apa yang diajarkan oleh guru harus diyakini kebenarannya dan diterima dengan sepenuh hati. Seorang guru diharapkan tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan pemahaman yang mendalam sehingga murid bisa benar-benar memahaminya dan menjadikannya bagian dari hidup mereka.
Ditiru berarti "diikuti" atau "dicontoh." Artinya, guru tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, tetapi juga harus menjadi teladan dalam tindakan dan perilaku. Guru diharapkan bisa menjadi panutan dalam segala aspek kehidupan — baik dalam hal keilmuan, akhlak, etika, maupun cara berinteraksi dengan orang lain. Seorang guru yang baik adalah yang mampu menunjukkan melalui perbuatannya bagaimana seharusnya ilmu yang diajarkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman digugu lan ditiru ini menjadikan guru sebagai sosok yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter dan moral seseorang. Seorang guru tidak hanya bertanggung jawab atas transfer ilmu, tetapi juga atas pembentukan pribadi murid yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam budaya Jawa, menghormati dan memuliakan guru bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi besar yang diberikan oleh guru dalam kehidupan sosial dan spiritual.
Secara keseluruhan, konsep digugu lan ditiru menggambarkan pentingnya peran guru sebagai pemimpin, pembimbing, dan teladan yang memberikan arah dan inspirasi dalam perjalanan hidup seseorang. Sebuah ajaran yang menunjukkan bahwa guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga panutan yang harus dihormati dan ditiru.
Guru dalam Tradisi Islam
Dalam Islam, guru (مُعَلِّم) juga dianggap sebagai orang yang memiliki peran besar dalam mendidik umat. Guru yang baik adalah mereka yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan duniawi tetapi juga memupuk keimanan dan moralitas para murid. Rasulullah SAW sendiri adalah teladan utama bagi para guru, karena beliau tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga memberi contoh kehidupan yang penuh hikmah.
Peran Guru dalam Masyarakat
Seiring berjalannya waktu, peran guru tetap relevan dalam masyarakat modern, meski dalam konteks yang lebih luas. Guru kini tidak hanya berada di ruang kelas, tetapi juga berperan dalam membentuk karakter dan memberikan arahan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dianggap sebagai pilar penting dalam membangun bangsa karena mereka yang menyiapkan generasi penerus dengan ilmu, keterampilan, dan akhlak yang baik.
Dengan demikian, dalam konteks bahasa Sanskerta dan tradisi secara umum, guru adalah sosok yang memberikan penerangan, baik dalam dimensi duniawi maupun spiritual, yang menghilangkan kebodohan dan membawa pencerahan kepada murid-muridnya.
Guru di LDII Kotawaringin Timur
Demikian juga di LDII Kotawaringin, para guru, yang biasa disebut dengan muballigh, memberikan pengajaran dan pendidikan kepada warga, meliputi ilmu Al-Qur'an, hadits, serta adab budi pekerti. Para muballigh ini memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing umat untuk memahami ajaran agama Islam secara mendalam dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai muballigh, mereka tidak hanya mengajarkan teks-teks agama, tetapi juga memberikan contoh nyata dalam kehidupan sosial dan spiritual. Mereka mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Allah, berinteraksi dengan sesama manusia dengan penuh kasih sayang, dan menjalani hidup sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an dan hadits.
Dalam konteks ini, para muballigh di LDII menjadi garda terdepan dalam membina generasi muda, terutama anak-anak usia dini dan remaja, dalam memahami ilmu agama. Mereka berperan sebagai pilar dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Melalui pendidikan agama yang dilaksanakan dengan penuh ketelatenan dan kesungguhan, para muballigh berharap generasi muda akan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggung jawab, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, para guru di LDII juga memfokuskan perhatian pada pembentukan karakter dan moralitas. LDII memiliki program pembentukan 29 karakter luhur. Budi pekerti yang luhur adalah salah satu pilar utama yang diajarkan dalam setiap jenjang pendidikan di LDII. Mereka mengajarkan pentingnya menjaga etika dalam berbicara, bersikap sabar, rendah hati, dan mengutamakan persaudaraan, sehingga generasi muda LDII dapat menjadi contoh yang baik di tengah masyarakat.
Dalam pengajaran yang diberikan oleh para muballigh, tidak hanya pengetahuan agama yang menjadi prioritas, tetapi juga keterampilan hidup yang bermanfaat untuk masyarakat. Ini mencakup pembekalan ilmu pengetahuan yang relevan dengan perkembangan zaman, serta pengajaran tentang cara menjadi individu yang dapat memberikan manfaat bagi sesama.