"Yang buta, yang buta, yang buta mata hatinyaYang tuli, yang tuli, yang tuli kesombongannya"
Sebait lirik lagu Rhoma Irama, Buta Tuli, bertutur tentang besarnya nikmat dan anugerah Allah SWT di alam yang disediakan dan diberikan untuk umat manusia. Manusia, sebagai salah satu makhluk di bumi, adalah penciptaan yang sempurna. Ia memiliki akal, nafsu dan hati. Dan dengan itu semua, ia juga tergiur untuk mendapatkan harta dan tahta.
Harta dan tahta adalah dua hal yang sering menjadi impian banyak orang di dunia ini. Seiring berjalannya waktu, manusia berusaha mengejar keduanya dengan berbagai cara, baik yang halal maupun yang tidak. Meskipun harta dan tahta bisa membawa kemuliaan dan kebahagiaan duniawi, namun jika tidak bijaksana dalam menggunakannya, keduanya bisa membuat seseorang kehilangan arah hidup, bahkan kehilangan jati diri mereka sendiri.
Harta dan Tahta sebagai Incaran Setiap Insan
Di dunia ini, banyak orang yang mengejar kekayaan (harta) dan kekuasaan (tahta) karena keduanya sering dianggap sebagai simbol kesuksesan dan kemuliaan. Harta menjanjikan kemudahan, kesenangan, dan status sosial yang tinggi, sementara tahta memberikan kekuasaan, pengaruh, dan penghormatan dari orang lain. Namun, Allah SWT mengingatkan kita dalam Al-Qur'an:
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, dan saling bermegahan antara kamu, serta saling berlomba dalam kekayaan dan anak-anak." (QS. Al-Hadid: 20).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa dunia ini hanyalah sementara. Kecintaan kita terhadap harta dan tahta bisa menjadi jebakan yang menjauhkan kita dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Hati-hati dengan Harta dan Tahta
Allah dan Rasul-Nya mengajarkan kita untuk tidak terjebak oleh keinginan duniawi yang bisa menyesatkan. Ketika seseorang mendapatkan harta dan tahta, mereka sering kali merasa lebih tinggi dan lebih mulia daripada orang lain. Hal ini bisa membuat mereka merasa sombong, egois, dan akhirnya lupa diri. Ketika kesombongan ini muncul, seseorang akan kehilangan nilai-nilai moral dan spiritualnya, dan hal itu bisa membuat hidupnya hampa, meskipun secara materi ia memiliki segalanya.
Dalam hal ini, kita bisa mengambil hikmah dari kisah wayang kulit yang berjudul "Bagong Mbangun Deso" (Bagong Membangun Desa). Kisah ini menggambarkan bagaimana ilmu, harta dan tahta bisa membuat seseorang terbius dan kehilangan jati diri. Dalam cerita ini, Bagong, seorang tokoh dalam wayang kulit, terpaksa menantang Batara Guru karena tuntutan Batara Guru yang ingin agar Semar menyembahnya, atau bertata krama dengan cara yang sangat menghormati dirinya, meskipun Batara Guru adalah saudara muda dari Semar. (dalam pewayangan, Batara Guru atau Manimaya adalah saudara termuda setelah Tejamantri (Togog) dan Ismaya (Semar) .
Kisah Bagong dan Batara Guru: Keangkuhan karena Tahta
Dalam kisah tersebut, Batara Guru yang memiliki kedudukan tinggi di antara para dewa merasa lebih mulia dan berhak atas penghormatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Semar, yang meskipun seorang punggawa cilik, memiliki kedudukan yang sangat dihormati oleh para dewa. Batara Guru, yang terbius oleh kedudukan dan tahta yang dimilikinya, tidak lagi menghargai kedudukan Semar yang lebih rendah, meskipun Semar adalah seorang yang bijak dan penuh kebijaksanaan.
Dalam cerita ini, kita bisa melihat bagaimana Batara Guru yang terobsesi dengan tahta, ilmu dan kekuasaannya mulai merasa dirinya lebih tinggi daripada yang lain, sehingga ia menuntut penghormatan yang berlebihan. Bagong, yang merasa bahwa Batara Guru telah lupa diri, akhirnya menantang Batara Guru untuk melihat sejauh mana kekuasaannya yang sesungguhnya. Ini adalah peringatan tentang bagaimana kekuasaan dan kedudukan bisa membuat seseorang kehilangan rasa rendah hati dan menyimpang dari jalan kebenaran.
Ketika Harta dan Tahta Mengaburkan Pandangan
Kisah "Bagong Mbangun Deso" menggambarkan dengan jelas bahwa terlalu terbuai dengan harta dan tahta bisa membuat seseorang merasa lebih tinggi dan menganggap dirinya lebih mulia daripada orang lain, padahal kedudukan di hadapan Allah tidaklah bergantung pada status duniawi. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya bahwa di sisi Allah, yang paling mulia adalah yang paling taqwa, bukan yang paling kaya atau berkuasa. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa." (QS. Al-Hujurat: 13).
Harta dan tahta memang bisa membuat seseorang menjadi besar di mata manusia, tetapi jika tidak digunakan dengan bijaksana, keduanya dapat mengaburkan pandangan dan membuat seseorang jauh dari jalan yang benar. Orang yang terbius harta dan tahta akan cenderung melupakan kewajiban mereka terhadap Allah, terhadap keluarga, dan terhadap masyarakat. Mereka lebih fokus pada kekuasaan dan kekayaan, daripada menjaga kehormatan diri dan jati diri mereka sebagai hamba Allah.
Harta dan tahta, meskipun keduanya bisa memberikan kenikmatan dan kemuliaan duniawi, harus digunakan dengan hati-hati dan penuh kebijaksanaan. Jangan sampai keduanya membuat kita kehilangan jati diri kita sebagai hamba Allah. Seperti dalam kisah wayang kulit "Bagong Mbangun Deso", kita diajarkan untuk tidak terjebak dalam kesombongan karena kekuasaan atau harta yang kita miliki. Jangan sampai kita merasa lebih mulia daripada orang lain dan lupa untuk bersikap rendah hati. Sebagaimana Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur'an, dunia ini adalah tempat ujian, dan yang terbaik di antara kita adalah yang paling bertaqwa.